Hukum Islam

Islam sebagai sebuah nama dari nama agama tidak diberikan oleh para pemeluknya melainkan kata “Islam” pada kenyataannya dicantumkan dalam Quran, yaitu:
1. “Wa radhitu lakum al-Islama dinan” artinya “Dan Allah mengakui bagimu Islam sebagai Agama”.[1]
2. “Inna’ ddina inda ilahi al Islam” artinya “Sesungguhnya agama disisi Allah adalah Islam”.[2]

Berdasarkan 2 (dua) surah tersebut maka jelaslah bahwa nama Islam diberikan oleh Allah sebagai sebuah nama agama dan bukan nama hasil ciptaan manusia yang memeluk agama tersebut. Penyebutan Islam dengan Muhammadanisme, Mohammedan Law, Muhammadaansch Recht atau sejenisnya tidak tepat dan dapat membawa kekeliruan arti, karena islam ialah wahyu dari Allah bukan ciptaan Muhammad.[3]

Ada beberapa pengertian Islam, yaitu:
1.Islam berarti kepatuhan atau penyerahan diri.
2.Islam berarti kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan diri dan kepatuhan.
3.Islam dalam bahasa Arab ialah sebagai kata benda jenis masdhar yaitu berasal dari kata kerja.

Kata kerja asalnya ialah:[4]
a. Aslama yang berarti berserah diri kepada Allah artinya manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya mengakui akan kelemahannya dan mengakui kemutlakan kekuasaan Tuhan. Bagaimanapun tingginya kemampuan manusia yang berujud menghasilkan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta kebudayaan tetapi kalau dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan tidak ada artinya.
b. Salima berarti menyelamatkan, menentramkan, mengamankan yaitu menyelamatkan, menentramkan dan mngamankan orang lain baik dari kata-kata maupun perbuatannya.
c. Salama yang berarti menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan diri sendiri

Menurut Prof. Muhammad Adnan, arti kata Islam ialah:
a. Islam jika diambil dari urutan asal kata SALIMA, artinya selamat.
b. Islam jika diambil dari urutan asal kata SALI, artinya damai, rukun, bersatu.
c. Islam jika diambil dari urutan asal kata ISTASLAMA, artinya tunduk, dan taat kepada perintah Allah dengan memakai dasar petunjuk-petunjuk serta bimbingan ajaran Rasul Muhammad SAW.
d. Islam jika diambil dari urutan asal kata ISTLASAMA, artinya tulus dan ikhlas.
e. Islam jika diambil dari urutan asal kata SULLAMI, artinya tangga untuk mencapai keluhuran derajat lahir dan batin.

Dari pengertian Islam tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan adanya 3 aspek, yaitu:
1.Aspek vertikal
Aspek vertikal mengatur antara makhluk dengan kholiknya (manusia dengan Tuhannya). Dalam hal ini manusia bersikap berserah diri pada Allah.
2.Aspek horisontal
Aspek horisontak mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Islam menghendaki agar manusia yang satu menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan manusia yang lain.
3.Aspek batiniah
Aspek batiniah mengatur ke dalam orang itu sendiri, yaitu supaya dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan batin maupun kematapan rohani dan mental.

Hukum-hukum Tuhan di dunia Barat disebut dengan istilah natural law atau hukum alam.[5] Di dalam ajaran Islam apa yang disebut dengan natural law di dunia barat itu dinamakan sunnatullah. Sunnatulah adalah ketentuan atau hukum-hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta.

Di dalam Islam tidak mengenal konsep sekuler. Islam mengajarkan suatu jalan hidup yang menyeluruh, yang tidak mengecualikan apa pun juga.[6] Sekularisme merupakan nama dari suatu sistem etika dan filsafat yang bertujuan untuk memberi interpretasi atau pengaturan terhadap kehidupan manusia tanpa kepercayaan kepada Tuhan, tidak mempercayai kitab-kitab suci dan tidak percaya pada haris akhir atau kiamat.[7]

Sekularisasi ialah proses pembebasan manusia, pertama dari agama dan kedua dari metafisika yaitu ilmu yang mempelajari berbagai masalah fundamental tentang pengetahuan dan kenyataan, diantaranya adalah masalah eksistensi sesuatu yang disebut ketuhanan.[8] Ini berarti bahwa sekulerisme ialah faham atau aliran dalam filsafat yang secara sadar menolak peranan Tuhan dan wahyu atau agama dalam mengatur hidup dan kehidupan manusia dan memusatkan perhatian semata-mata pada masalah dunia.[9]

Bentuk sekulerisasi sekarang ada dua, yaitu:
a. Secara formal masih tetap mengakui adanya Tuhan, tetapi Hukum-hukum Tuhan atau moral yang berasal dari agama tidak boleh dipergunakan untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia dan masyarakat. Yang dipergunakan untuk mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat hanyalah akal manusia.
b. Faham yang mengingkari adanya Tuhan. Kalau Tuhan tidak diakui ajaran-Nya pun tidak boleh sama sekali mengatur hidup dan kehidupan manusia.
Seorang orientalis terkemuka Cristian Snouk Hurgronje mengatakan “Islam is a religion of law in the full meaning of the word” (Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang sebenarnya). Ini berarti bahwa:
1.Selain dari agama islam mengandung norma-norma hukum baik kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah maupun kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam dengan sempurna.
2.Agama Islam dengan Hukum Islam tidak dapat dipisahkan Posisi Hukum islam sebagai bagian dari agama adalah digunakan sebagai sumber hukum atau hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) yang kemudian diaplikasikan dalam masyarakat.[10]
[1] Lebih lanjut lihat Quran S (3). Al Ma-idah ayat 3. Pada hakekatnya harus dibedakan antara pemahanan istilah Agama dengan Dinul Islam, dimana manusia diharapkan bisa melanjutkan tugas Allah sebagai kalifah di muka bumi sesuai dengan kodrat dan iradatNya.
[2] Lebih lanjut lihat Quran S (5). Al-Imran ayat 19.
[3] Mohammad Daud Ali, 1993, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 5.
[4] Sumiyati, 1981, Asas-asas Hukum Islam, Shinta Yogyakarta, Hal. 7-8.
[5] Nasr, 1981, Islam dalam Cita dan Fakta, Leppenas, Jakarta, Hal. 19.
[6] Ibid., Hal 14.
[7] Rasjidi, 1972, Kuliah Hukum Islam I, Bulan Bintang, Jakarta, Hal. 21.
[8] Mohammad Daud Ali, 1993, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 21
[9] Mohammad Daud Ali, 1993, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 21
[10] Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 13.

(cuman pengen share copas dari http://irfanaseegaf.multiply.com/)

PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENJADI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

I. LATAR BELAKANG
Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional.

Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu
-teori voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara.
-teori objektivis, yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.

Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.

II. Teori Keberlakuan Hukum Internasional
A. Aliran Dualisme
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:

1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;
2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.
4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.
Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.

B. Aliran Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri. Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut:

1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.

Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.

III. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.

Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:

1. Perjanjian Internasional;
2. Kebiasaan Internasional;
3. Prinsip Hukum Umum;
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.

Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.

Dewasa ini dalam hukum internasional kecenderungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.

Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.

Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.

Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan :
- Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.
- Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.

Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat. Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.

Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:

1.Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2.Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3.Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
4.Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
5.Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).

IV. Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
•Ketentuan Umum
•Pembuatan Perjanjian Internasional
•Pengesahan Perjanjian Internasional
•Pemberlakuan Perjanjian Internasional
•Penyimpanan Perjanjian Internasional
•Pengakhiran Perjanjian Internasional
•Ketentuan Peralihan
•Ketentuan Penutup

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

1.Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
2.Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
3.Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
4.Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
•masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
•perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
•kedaulatan atau hak berdaulat negara;
•hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
•pembentukan kaidah hukum baru;
•pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:
”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Filsafat Hukum

PUSTAKA :
  1. BERNARD ARIEF SIDHARTA. (Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum). Bandung : Mandar Maju
  2. DARJI DARMODIHARJO dan SHIDARTA (Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia).Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
  3. SATJIPTO RAHARDJO. (Ilmu Hukum). Bandung : Citra Aditya Bakti
  4. YUSRIYADI (Tebaran Pemikiran Kritis Hukum & Masyarakat). Malang : Surya Pena Gemilang.

DISIPLIN HUKUM

Bernard Arif Sidharta :
Membedakan disiplin hukum :
  1. Filsafat Hukum
  2. Teori Ilmu Hukum
  3. Ilmu Hukum :
a.Ilmu Hukum Normatif :
  • Ilmu Hukum dalam arti sempit (dogmatik hukum.
  • Perbandingan Hukum
b. Ilmu Hukum Empiris

Filsafat Hukum :
Adalah reflektif teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum. Ia ditujukan untuk merefleksikan hukum dalam keumumannya.
Dua hal yang menjadi perhatian filsafat hukum yaitu
  1. Apa yang menjadi landasan kekuatan hukum yang mengikat.
  2. Atas dasar apa hukum dapat dinilai keadilannya.

Teori Ilmu Hukum :
Muncul karena terjadinya “kelesuan” diantara filsafat hukum yang dianggap terlalu abstrak dan spekulatif, sementara dogmatik hukum dipandang terlalu konkret terkait ruang dan waktu.

Teori Ilmu Hukum bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin mengenai bahan hukum yang tersaji dalam kegiatan yuridis di dalam kenyataan masyarakat. Objek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum, dan kritik ideologis terhadap hukum

ALIRAN –ALIRAN (MAZHAB) DALAM FILSAFAT HUKUM

A.Mazhab Imperatif. (Positivisme)
Hukum adalah perintah (command) dari penguasa atau kekuasaan yang berdaulat (souvereign). Hukum positif adalah peraturan untuk melakukan perbuatan yang berlaku umum, yang diberikan oleh golongan yang secara politis kedudukannya lebih tinggi (political superior) kepada golongan yang secara politis kedudukannya lebih rendah (political inferior).
Tokoh : John Austin

B.Mazhab Sejarah
Hukum itu ditentukan secara historis, berubah menurut waktu dan tempat. Mazhab sejarah menitik beratkan pada jiwa bangsa (volkgeist), sehingga hukum melalui proses yang perlahan-lahan sama halnya dengan bahasa. Sumber hukum adalah perasaan keadilan yang instingtif yang dimiliki setiap bangsa. Jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu menghasilkan hukum positif.
Tokoh : Friedrich Carl von Savigny

C.Mazhab Sosiologis
Hukum merupakan hasil pertentangan-pertentangan dan hasil perimbangan (balance) antara kekuatan-kekuatan sosial, cita-cita sosial, institusi sosial, perkembangan ekonomi, pertentangan dan perimbangan kepentingan-kepentingan golongan-golongan atau klas-klas dalam masyarakat. Hukum adalah suatu gejala masyarakat, bukan norma tetapi kebiasaan-kebiasaan manusia yang menjelma dalam perbuatan atau perilaku di dalam masyarakat. Mazhab sosiologis disebut mazhab hukum bebas karena hakim bebas untuk menggali sumber-sumber hukum yang terdapat dalam masyarakat yang berwujud kebiasaan-kebiasaan, perbuatan-perbuatan dan adat. Berlakunya hukum tergantung pada penerimaan masyarakat dan tiap golongan menciptakan sendiri-sendiri bagi golongan itu masing-masing suatu hukum yang hidup (living law).
Tokoh : Eugen Ehrlich

D.Mazhab Fungsional
Hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau merupakan suatu tertib hukum saja tetapi juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling saling bertentangan dan juga merupakan alat untuk menjamin pemuasan-pemuasan kebutuhan-kebutuhan semaksimal mungkin, dengan menimbulkan pergeseran (friction) yang seminimal mungkin. Fungsi hukum adalah melakukan “social engineering” yaitu alat sosial dalam masyarakat. Di dalam melakukan “social engineering,” hukum harus dikembangkan terus menerus agar selalu sesuai/selaras dengan nilai-nilai sosial yang berubah-ubah.
Tokoh : Roscoe Pound

E.Mazhab Hukum Alam
Sejarah hukum alam merupakan sejarah usaha umat manusia untuk menemukan keadilan yang mutlak beserta kegagalan-kegagalan dalam usaha tersebut. Sejak ribuan tahun lalu sampai sekarang ini ide tentang hukum alam selalu timbul sebagai suatu perwujudan dari usaha manusia untuk menemukan hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Pada suatu waktu tertentu ide tentang hukum alam timbul dengan kuat, pada saat yang lain ide ini diabaikan tetapi bagamanapun juga ide tentang hukum alam tidak pernah lenyap. Hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi. Thomas Aquinas berpendapat bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya, ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan itulah diperlukan iman. Ada dua pengetahuan :
  1. pengetahuan alamiah berpangkal pada akal
  2. b.pengetahuan iman bersumber pada wahyu ilahi.
Pembedaan ini oleh T. Aquinas dipakai untuk menjelaskan perbedaan antara filsafat dan teologia.

Berbicara tentang hukum, T. Aquinas mendefinisikan hukum sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Hukum dapat dibedakan :
  1. Lex aeterna yaitu hukum rasio Tuhan yang mengatur segala sesuatu dalam alam semesta. Manusia tidak mampu memahami lex aeterna secara keseluruhan.
  2. Lex naturalis yaitu hukum yang penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio, bagian yang dapat ditangkap oleh rasio manusia. Lex naturalis memberikan pengarahan kepada manusia melalui petunjuk umum. Misalnya yang baik harus dilakukan, yang buruk dihindari.
  3. Lex divina yaitu hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, petunjuk-petunjuk dari Tuhan yang tercantum dalam kitab-kitab suci
  4. Lex Humane yaitu rumusan hukum. Karena sumber utama dari hukum adalah akal, maka hukum harus menyesuaikan diri pada dalil-dalil bekerjanya akal. Hukum yang tidak

adil dan tidak dapat diterima akal, dan hukum yang bertentangan dengan hukum alam tidak dapat disebut dengan hukum

F.Realisme
Aliran ini meninggalkan hukum yang abstrak kepada pekerjaan-pekerjaan yang praktis untuk menyelesaikan praktik-praktik dalam masyarakat. Hukum berubah-ubah dan diciptakan pengadilan, hukum sebagai sarana mencapai tujuan sosial.Aliran ini berpandangan bahwa masyarakat lebih cepat berubah daripada hukum.

Filsafat Hukum :
Perenungan dan perumusan nilai-nilai; selain itu filsafat hukum mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dan ketentraman, kebendaan dan keakhlakan (idealisme), kelanggengan nilai-niali lama (konservatisme) dan pembaruan.

NILAI-NILAI
Nilai : Sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin.

Nilai : ukuran tentang sesuatu yang baik dan tidak baik

NOTONAGORO:

Nilai dapat dibagi :
  1. Nilai Material
  2. Nilai Vital
  3. Nilai Kerohanian
Nilai Material :
Sesuatu mempunyai nilai material apabila berguna bagi jasmani manusia.

Nilai Vital :
Sesuatu dikatakan mempunyai nilai vital apabila berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan manusia.

Nilai Kerohanian :
Sesuatu dikatakan mempunyai nilai kerohanian apabila berguna bagi rohani manusia.

Nilai Kerohanian meliputi :
  1. Nilai kebenaran atau kenyataan, yang bersumber pada unsur akal (rasio/logika) manusia.
  2. Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur rasa (estetis/estetika) manusia.
  3. Nilai kebaikan moral (etika) yang bersumber pada kehendak (karsa) manusia.
  4. Nilai Religius yang yang bersumber pada kepercayaan manusia, dengan disertai melalui penghayatan melalui akal dan budi nuraninya.
Kita dapat membedakan nilai yang bersifat material (berwujud) dan nilai yang versifat imaterial (tidak berwujud).

Nilai yang bersifat material relatif dapat diukur dengan mudah yaitu dengan menggunakan alat –alat pengukur.

Nilai imaterial relatif lebih sulit mengukurnya. Nilai imaterial ini tidak dapat diukur dengan alat pengukur material. Nilai imaterial mengukurnya dengan hati nurani.Lebih sulit lagi kalau dipermasalahkan , apakah dalam pengukuran itu ada perwujudan budi nurani manusia yang universal ?

Dalam memberikan penilaian sesuatu yang bersifat rohaniah melalui budi nurani dengan dibantu :
  • indera
  • akal
  • perasaan
  • kehendak
  • keyakinannya
Dalam memberikan penilaian ini sering mengalami perbedaan antara manusia satu dan lainnya. Masing-masing tidak sama dalam memberikan penilaian.

Dalam filsafat nilai merupakan hasil pemikiran yang dianggap hasil maksimal, yang paling benar, paling bijaksana, dan paling baik.

Karena itu nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi, dalam segala perbuatannya. Nilai-nilai ini masih abstrak, umum sekali, supaya dapat digunakan untuk dijadikan ukuran maka harus dijabarkan dalam ukuran normatif yaitu berupa kaidah, norma.

Penyelesaian Sengketa International

Hubungan - hubungan international yang diadakan antar negara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi international tidak selamanya berjalan baik. Acapkali hubungan itu menimbulkan sengketa diantara mereka. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum international memainkan peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.

Upaya - upaya penyelesaian telah menjadi perhatian yang cukup penting di masyartakat international sejak abad ke 20. upaya - upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik demi tercapainya perdamaian dunia. Adapun beberapa langkah yang di tempuh dalam penyelesaian sengketa international adalah :

a. Penyelesaian sengketa internasional secara politik
1). Negosiasi
Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana. Teknik negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga, hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua belah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Karena itu, dalam salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian akan mengalami jalan buntu.

2). Mediasi dan jasa-jasa baik (Mediation and good offices)
Mediasi merupakan bentuk lain dari negosiasi, sedangkan yang membedakannya adalah keterlibatan pihak ketiga. Pihak ketiga hanya bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator), komunikasi bagi pihak ketiga disebut good offices. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat guna melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh pihak yang bersengketa.

Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat. Kasus jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. Mediasi, sebaliknya pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif dan ikut serta dalam negosiasi-negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga jalan penyelesaiannya dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak berlaku terhadap para pihak.

3). Konsiliasi (Conciliation)
Menurut the Institute of International Law melalui the Regulations the Procedur of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian. Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.

Menurut Shaw, laporan dari konsiliasi hanya sebagai proposal atau permintaan dan bukan merupakan konstitusi yang sifatnya mengikat. Proses konsiliasi pada umumnya diberikan kepada sebuah komisi yang terdiri dari beberapa orang anggota, tapi terdapat juga yang hanya dilakukan oleh seorang konsiliator.

4). Penyelidikan (Inquiry)
Metode penyelidikan digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan permasalahan. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul, badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya.

Tujuan dari penyelidikan, tanpa membuat rekomendasi-rekomendasi yang spesifik untuk menetapkan fakta yang mungkin diselesaikan dengan cara memperlancar suatu penyelesaian yang dirundingkan. Pada tanggal 18 Desember 1967, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang menyatakan pentingnya metode pencarian fakta (fact finding) yang tidak memihak sebagai cara penyelesaian damai dan meminta negara-negara anggota untuk lebih mengefektifkan metode-metode pencarian fakta. Serta meminta Sekertaris Jenderal untuk mempersiapkan suatu daftar para ahli yang jasanya dapat dimanfaatkan melalui perjanjian untuk pencarian fakta dalam hubungannya dengan suatu sengketa.

5). Penyelesaian di bawah naungan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Amanat yang disebutkan dalam Pasal 1 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satu tujuannya adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Tujuan tersebut sangat terkait erat dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai. Isi Piagam PBB tersebut di antaranya memberikan peran penting kepada International Court of Justice (ICJ) dan upaya penegakannya diserahkan pada Dewan Keamanan. Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, DK dapat mengambil tindakan-tindakan yang terkait dengan penjagaan atas perdamaian. Sedangkan Bab VI, Dewan Keamanan juga diberikan kewenangan untuk melakukan upaya-upaya yang terkait dengan penyelesaian sengketa.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo