Hukum Humaniter Internasional (juga disebut Hukum Perang atau Hukum Konflik Bersenjata) adalah seperangkat aturan yang, di masa perang, melindungi orang yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta dalam pertikaian dan membatasi pemilihan sarana dan cara berperang. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk melindungi martabat manusia dan membatasi penderitaan di masa perang.
Instrumen Hukum Humaniter Internasional utama dalah Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 bagi perlindungan korban perang. Instrumen ini telah diterima secara universal. Konvensi-konvensi ini mengandung kelemahan dalam beberapa aspek seperti perilaku pertempuran dan perlindungan orang sipil akibat pertempuran. Kelematah-kelemahan ini dikoreksi dengan diadopsinya dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional.
Hingga saat ini 194 negara telah meratifikasi Konvensi Jenewa. Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Jenewa I-IV 1949 pada 30 September 1958. Sementara untuk Protokol Tambahan I dan II Indonesia belum meratifikasi.
Hukum Den Haag pada intinya menyangkut cara, metode dan persenjataan perang. Hukum Den Haag terdiri atas Konvensi Den Haag II 1899 dan Konvensi Den Haag IV 1907. Berkaitan dengan hukuman pidana, tujuan utama Konvensi Den Haag adalah mewajibkan negara pihak pada konvensi agar menghukum para tersangka pelaku pelanggaran.
Hukum jus in bello seringkali dipisahkan antara hukum humaniter (hukum Jenewa) dan hukum Den Haag. Pemisahan ini bermanfaat untuk tujuan studi. Namun demikian, pada kenyataannya, dua hukum tersebut saling terkait.
PRINSIP DASAR HUKUM HUMANITER
Jean-Jacques Rousseau memberikan inpirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia bilang bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen musuh, kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil hidup mereka.
Para perancang Deklarasi St. Petersburg memformulasikan prinsip-prinsip pembedaan, prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa satu-satunya objek yang paling sah dicapai oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan.
Protokol Tambahan 1977 merinci dan menegaskan kembali prinsip-prinsip ini khususnya prinsip pembedaan. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik setiap saat harus dapat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan antara objek sipil dan objek militer dan karena itu pula pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengarahkan operasinya semata-mata hanya untuk menyerang objek militer. (Pasal 48 Protokol I dan Pasal 13 Protokol II).
Protokol Tambahan I dan II 1977 pada Konvensi Jenewa 1949 melarang kombatan menyamar sebagai orang sipil, penyerangan yang membabi buta atau tidak pandang bulu dan penyerangan tempat ibadah dan monumen serta penyerangan objek-objek yang mutlak diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk. Kedua Protokol tersebut juga melarang tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror.
Prinsip berikutnya adalah proporsionalitas yaitu usaha untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mencegah penderitaan yang tidak perlu di pihak sipil dalam operasi militer. Protokol mengharuskan segenap pihak yang terlibat konflik bersenjata untuk mengambil langkah pencegahan yang mungkin bisa diambil menyangkut sarana dancara berperang yang dipakai untuk menghindari atau memperkecil timbulnya kerugian ikutan berupa korban tewas dan luka di pihak sipil dan kerusakan objek sipil yang melebihi keuntungan militer yang diperoleh.
TENTANG KOMBATAN
Kombatan adalah seluruh anggota angkatan bersenjata yang terjun ke arena konflik, terkecuali staf medis dan keagamaan. Angkatan bersenjata terdiri atas semua organisasi angkatan bersenjata, kelompok-kelompok dan unit-unitnya yang berada di bawah sebuah perintah yang bertanggung jawab atas aksi yang dilakukan oleh para bawahannya dalam konflik. Mereka adalah subyek dari sistem disipliner internal yang mengharuskan pelaksanaan hukum konflik bersenjata dimana anggota-anggotanya, paling tidak ketika mereka ikut dilibatkan dalam suatu operasi militer, mengenakan seragam atau alat tempur yang membedakan mereka dengan warga sipil.
Indonesia menganut sistem pertahanan SISHANKAMRATA (sistem pertahanan keamanana rakyat semesta). Rakyat (sipil) adalah unsur sistem pertahanan. Dalam kondisi perang, warga sipil turut dalam sistem pertahanan (perang). Mereka ikut juga berperang. Saat perang kemerdekaan, warga sipil turut berperang bersama dengan tentara. Mereka juga turut mebawa senjata. Oleh karena itu warga sipil di Indonesia adalah kombatan.
0 comments:
Post a Comment